Ads 468x60px

Featured Posts Coolbthemes

Sunday, September 9, 2012

Sejarah Batik di Banyumas

Batik banyumas tidak terlepas dari pengaruh budaya seperti, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Secara pasti asal mulai batik banyumas memang belum bisa dilacak, tetapi menurut para sesepuh penggiat batik banyumas, dapat kita ketahui bahwa batik banyumas muncul akibat adanya kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan para pengikut pangeran diponegoro yang tinggal di sekitar Banyumas.

Batik banyumas sendiri identik dengan motif Jonasan, yaitu kelompok motif non-geometrik yang didominasi oleh warna dasar kecoklatan dan hitam. Warna coklat karena soga, sedangkan warna hitam karena  wedel. Motif-motif yang berkmbang sekarang ini antara lain, sekarsurya, sidoluhung, lumbon, jahe pugor, cempaka mulya, kawung jenggot, madu bronto, satria busana, dan piring sedapur.

Seperti batik yang berasal dari daerah lain, para pengrajin batik banyumas terus melakukan inovasi dan kreasi agar menghasilkan motif yang baru dan tetap bisa diterima oleh pasar tanpa kehilangan identitasnya. Jika kita lihat berdasarkan bahannya, batik banyumas berasal dari bahan mori sen, dobri, sutera, dan paris. Sedangkan, jika kita lihat berdasrkan proses pembuatannya ada yang cap dan juga ada yang tulis. Batik cap lebih murah dan pembuatannya lebih cepat, sedangkan batik tulis karena proses pembuatannya juga yang lebih sulit dan lama, membuat batik ini punya "kelas tersendiri".

Friday, August 31, 2012

Sejarah Batik di Indonesia

Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang diakui dunia internasional, namun hingga saat ini para ahli belum sepakat menentukan dari mana asal dan kapan bermulanya tradisi batik di Indonesia.

Walau diperkirakan menggunakan metode yang serupa, para ahli belum bisa menemukan bukti bahwa batik Jawa sama umurnya dengan yang pernah ditemukan di Mesir, yang merupakan peninggalan dari abad 5-6 SM. Seperti disebutkan dalam artikel Batik Indonesia, beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa resist method diperkenalkan kepada bangsa Indonesia oleh bangsa India, namun ahli-ahli lain tidak sepenuhnya mendukung teori ini, di antaranya adalah Prof.Dr.R.M.Sutjipto Wirjosuparto. Dalam bukunya Bunga Rampai Sejarah Budaya Indonesia, beliau menyebutkan “Bangsa Indonesia sebelum bertemu dengan kebudayaan India telah mengenal aturan-aturan untuk menyusun syair, mengenal teknik untuk membuat batik, mengenal industri logam, penanaman padi di sawah dengan jalan pengairan dan suatu pemerintahan yang teratur."

S.K. Sewan Susanto, S.Teks. dalam bukunya Seni Kerajinan Batik Indonesia juga menentang pendapat batik Indonesia berasal dari India karena perkembangan desain batik Indonesia sampai pada kesempurnaan pada abad ke 14-15, sedangkan perkembangan batik di India baru mencapai kesempurnaan pada abad ke 17-19. Masih dalam buku yang sama beliau menyimpulkan  bahwa resist method yang digunakan dalam membuat batik tidak hanya terdapat di India. Dengan adanya hubungan Indonesia-Tiongkok pada zaman Sriwijaya yang erat, maka sangat mungkin adanya pengaruh timbal balik mengenai metode tersebut ( resist method )  antara Indonesia-Tiongkok.

 Beberapa ahli berpendapat bahwa batik Jawa baru dapat dibuat setelah pertengahan abad ke 18, karena kain pada masa sebelumnya terlalu kasar untuk dihias dengan desain rumit.  Namun dokumen menyebutkan bahwa Pulau Jawa telah mengimport kain katun India yang berkualitas sejak abad ke 10. Kata ‘batik’ bahkan tercantum dalam rekening muatan kiriman barang dari Batavia ke Sumatera pada tahun 1641.

Walau masih banyak silang pendapat tentang asal mula batik di Indonesia, sampai saat ini metode dan peralatan batik Indonesia masih dikagumi dan ditiru oleh praktisi pengolahan kain di seluruh dunia.
Seperti yang disebutkan Michael Hitchcock dalam Indonesia Textiles, pada abad ke 19, para ahli dan pedagang eropa mulai tertarik pada batik. Batik Indonesia dari abad 19 tersebut menjadi koleksi antara lain The British Museum yang didapatkan Sir Thomas Stamford Raffles saat bertugas di Jawa antara 1811- 1815. Koleksi Raffles ini tidak pernah dapat dinikmati publik secara lengkap karena saat beliau kembali ke Inggris kapalnya terbakar dan menghanguskan sebagian besar koleksinya.

Selepas kembalinya Raffless dengan koleksi batiknya, pada abad itu beberapa usaha untuk memproduksi batik dilakukan di Eropa. Inggris mencoba  memproduksi imitasi batik cetak yang lebih murah dibanding aslinya. Namun mereka tidak dapat menyamai pewarna tradisional Indonesia dan harus menggunakan bayak material untuk meniru desain buatan tangan. Akhirnya upaya ini terhalang oleh biaya produksi yang mahal.
Belanda menggunakan pendekatan berbeda. Beberapa pembatik Indonesia dikirim ke Belanda untuk mengajari para pekerja Belanda. Beberapa pekerja Belanda kemudian dikirim ke Jawa untuk memproduksi batik dalam perusahaan yang dikelola negara. Belanda juga membuat beberapa pabrik batik di negerinya sendiri, yang pertama dibangun di Leiden pada tahun 1835.

Swiss memulai ekspor imitasi batik satu dekade berikutnya, namun produksinya kemudian menurun. Jerman lebih sukses dengan memproduksi masal kain batik pada tahun 1900-an dengan pena kaca dan resist atau penolak warna yang dipanaskan dengan listrik.

Seniman dan industrialis Eropa mendapat keuntungan dari batik. Bahkan disebutkan bahwa gerakan art nouveau mendapat pengaruh dari Jawa, terutama di Belanda. Namun kemudian stagnasi ekonomi terjadi tahun 1920-an membuat permintaan batik hasil industri menurun, dan pasar batik akhirnya hanya dimiliki perusahaan batik berskala kecil di Eropa dan Indonesia.

Pengusaha batik di Eropa tetap bertahan selama 1930an karena permintaan lokal. Namun produksi dan permintaan batik menurun lagi selama Perang Dunia II, walaupun kemudian bangkit lagi setelah perang usai. Kini batik memang telah menyebar ke seluruh dunia, namun Indonesia, terutama Pulau Jawa tetap merupakan pusat batik dunia. [Sumber : Olin (artscraftindonesia.com)]
Sumber foto : alannobita.blogspot.com

logo